Istri Minta Cerai Karena Selingkuh
Dampak Gugat Cerai Karena Selingkuh
Ketika seorang istri yang sekaligus merupakan seorang ibu terbukti melakukan perselingkuhan, maka besar kemungkinan hak asuh anak akan jatuh kepada ayahnya. Hal ini terjadi karena perselingkuhan dinilai sebagai kegagalan dalam menjalankan peran serta kewajiban di dalam Rumah Tangga.
Selain itu, pengalihan hak asuh kepada sang ayah juga dilakukan demi kebaikan si anak ke depannya.
Apabila istri yang terbukti selingkuh melahirkan anak di kemudian hari, setelah putusnya ikatan perkawinan, maka seorang (mantan) suami berhak untuk memastikan apakah anak tersebut benar-benar anak dari hubungan dia dengan (mantan) istrinya (anak kandung) atau bukan.
Jika anak tersebut adalah anaknya, maka ia memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak itu. Akan tetapi, sebelum ada kepastian bahwa itu merupakan anaknya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Lain halnya dengan kondisi dimana istri mengajukan gugat cerai karena suami selingkuh. Apabila yang terjadi demikian, maka hak asuh anak sepenuhnya diberikan kepada istri. Namun suami tetap memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah bagi anaknya.
Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 41 butir (b) UUP yang secara jelas menyebutkan bahwa seorang ayahlah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak; kecuali jika ia (sang ayah) tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak, baik suami atau istri, melakukan perselingkuhan. Suami atau istri yang mengajukan permohonan perceraian harus menyiapkan bukti atas perselingkuhan yang dilakukan pasangan untuk menjadi bahan pertimbangan hakim di pengadilan.
Setelah permohonan perceraian dikabulkan, maka hakim akan memutuskan hak asuh terhadap anak hasil dari perkawinan, apabila pasangan yang baru saja bercerai tersebut telah memiliki anak.
Membutuhkan bantuan hukum? Anda dapat menghubungi IHW Lawyer di telepon 0812-1203-9060 atau email di [email protected] untuk mendapatkan jasa pengacara yang profesional, amanah dan berpengalaman di bidangnya.
Jangan biarkan permasalahan hukum yang Anda hadapi menggangu ketenangan hidup Anda!
IHW, demikian sapaan lainnya. Sejak diangkat sebagai advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada tahun 2010, lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung ini telah memegang banyak perkara litigasi. Mulai dari hukum pidana, perdata, hukum keluarga dan juga ketenagakerjaan.
Alasan Permohonan Perceraian
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) yang merupakan peraturan pelaksana dari UUP menyebutkan dengan jelas enam butir alasan yang dapat diajukan untuk permohonan perceraian. Keenam alasan tersebut antara lain sebagai berikut:
Saat suami ketahuan selingkuh, salah satu hal yang kerap langsung dipikirkan oleh istri adalah minta cerai. Tapi bolehkah istri minta cerai?
Paling penting, sebelum meminta cerai ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh istri. Terutama jika keluarga sudah dikaruniai oleh anak.
Seperti diketahui, kesehatan psikis dan masa depan anak masih sangat terpengaruh oleh orang tuanya. Jika perceraian tetap dilakukan dan tidak berakhir dengan baik, bukan tidak mungkin psikis anak bisa terganggu, Bunda.
Selain itu, faktor lain seperti ekonomi juga menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum istri minta cerai dari suami selingkuh.
Nah, berikut hal-hal yang perlu dipertimbangkan soal boleh atau tidaknya istri minta cerai pada suami yang selingkuh:
Aturan Gugat Cerai karena Suami atau Istri Selingkuh
Perzinahan merupakan perbuatan pidana yang diatur hukumannya dalam undang-undang. Pasal 284 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa ancaman pidana perilaku perzinahan berupa hukuman penjara paling lama 9 bulan bagi suami atau istri yang melakukan perselingkuhan berujung zinah di dalam perkawinan yang sah di mata hukum.
Jika Anda mengajukan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh berujung perzinahan, maka hal paling mendasar yang perlu disiapkan adalah bukti gugatan. Permohonan cerai tidak dapat hanya didasarkan pada asumsi atau dugaan salah satu pihak. Penggugat harus menyiapkan bukti jelas yang dapat dikonfirmasi oleh Majelis Hakim di persidangan sebagai situasi pelanggaran hubungan perkawinan yang sebenarnya.
Bukti yang dimaksud bisa dalam berbagai bentuk, misalnya foto, bukti rekaman pesan singkat, CCTV, adanya saksi, dan lain-lain. Dalam hal ini, Anda mungkin perlu berkonsultasi dengan ahli hukum terkait barang bukti perselingkuhan yang Anda maksudkan.
Jika ada pihak yang menduga adanya perselingkuhan, tetapi belum dapat membuktikan tindak perzinahan, maka hal tersebut belum dapat diajukan sebagai alasan gugatan cerai. Dengan demikian, pihak penggugat yang ingin mengajukan perceraian bisa membuat permohonan dengan alasan lainnya.
Salah satu alasan yang bisa digunakan adalah adanya pertengkaran atau perselisihan terus menerus karena perselingkuhan suami atau istri. Pada akhirnya, perselisihan tersebut dinilai menjadi penyebab tujuan perkawinan ideal tidak tercapai dan tidak ada harapan lagi untuk rukun. Alasan hubungan tidak harmonis inilah yang bisa menggantikan alasan perzinahan akibat pasangan berselingkuh.
Pertimbangan dalam agama Islam
Dalam agama Islam, gugatan cerai dibagi menjadi dua istilah: fasakh dan khuluk. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri, di mana istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya.
Sementara khuluk adalah pengajuan talak oleh istri, namun ia perlu mengembalikan sejumlah harta atau maharnya kepada suami. Sedikit berbeda dari talak, tidak ada rujuk dalam khuluk.
Gugat Cerai Karena Pasangan Selingkuh
Berdasarkan pemaparan singkat sebelumnya telah kita ketahui bahwa perselingkuhan dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan perceraian. Dalam PP 9/1975 disebutkan bahwa perselingkuhan termasuk dalam perbuatan zina.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 284 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa ada ancaman pidana berupa hukuman penjara paling lama sembilan bulan bagi suami atau istri yang melakukan perbuatan zina (dalam hal ini termasuk perselingkuhan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa undang-undang yang berlaku di Indonesia juga melarang perbuatan zina.
Berbicara mengenai ketentuan hukum, maka tentu ada yang namanya pembuktian. Ketika seseorang, baik suami ataupun istri, mengajukan gugat cerai karena pasangannya selingkuh, maka permohonan gugat cerai tersebut bukan hanya didasarkan pada asumsi atau dugaan semata.
Namun perlu diperhatikan bahwa ia harus dapat membuktikan perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Hal ini penting untuk memperkuat pembuktian sehingga dapat menjadi pertimbangan hakim di persidangan.
Apakah Perselingkuhan Bisa Menjadi Alasan Perceraian?
Pertanyaan berikutnya adalah bisakah gugat cerai karena suami atau istri selingkuh? Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam banyak kasus perceraian, perselingkuhan menjadi salah satu alasan yang jamak dikemukakan.
Pada konsep hukum di Indonesia, sebab-sebab perceraian ternyata juga diatur dalam sebuah undang-undang yang sah, yaitu Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) sebagai peraturan pelaksana UUP.
Dalam pasal tersebut, dapat dicermati bahwa ada enam butir situasi yang dapat dijadikan alasan pengajuan permohonan atau gugatan cerai, yaitu:
Baca Juga: Ini Penyebab Perceraian yang Sering Terjadi
Berdasarkan enam butir alasan yang dapat diajukan dalam proses perceraian tersebut, perselingkuhan diatur sebagai salah satu bentuk perzinahan sebagaimana yang dimaksud pada butir pertama.
Jadi, mengajukan gugat cerai karena suami atau istri selingkuh adalah hal yang mungkin dilakukan dan sah di mata hukum. Terlebih lagi, jika tindakan perselingkuhan telah berujung pada zinah atau hubungan badan di luar nikah.
Meski demikian, Anda perlu memahami bahwa ada aturan yang harus dicermati dalam pengajuan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh.
Akibat Terjadinya Perceraian
Perlu diketahui bahwa dari perceraian yang terjadi, tentu ada akibat atau dampak yang akan dirasakan. Apabila seorang istri terbukti selingkuh, maka dalam memutus perkara perceraian, Majelis Hakim akan mempertimbangkan hak asuh atas anak yang merupakan hasil dari perkawinannya.
Mengenai hal ini, Pasal 45 UUP menyebutkan bahwa kedua orangtua (dari si anak) memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika salah satu atau bahkan kedua orang tua dari si anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum atau ketentuan yang berlaku, maka hal tersebut sudah menyalahi kewajibannya dalam mendidik anaknya.
Lebih lanjut lagi, dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa anak yang berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya.
Ketentuan ini secara tidak langsung menerangkan bahwa ibulah yang memiliki hak penuh atas anaknya. Sedangkan, bagi anak yang berusia di atas 12 tahun disebutkan bahwa anak tersebut dapat memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pada dasarnya ketika terjadi perceraian dalam suatu ikatan perkawinan, maka yang diutamakan mendapat hak asuh atas anak dari perkawinan tersebut adalah sang ibu.
Hal ini sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tertanggal 24 April 1975, dimana dalam putusan tersebut dituliskan bahwa penentuan pemberian hak asuh anak dalam suatu peristiwa perceraian harus mengutamakan ibu kandung, terlebih lagi bagi anak yang masih berusia di bawah 12 tahun.
Hal itu dikarenakan pada usia tersebut anak masih membutuhkan hadirnya sosok ibu dalam membersamai tumbuh kembangnya, kecuali untuk perceraian yang terjadi karena peristiwa kematian yang mana istri lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak.
Pikirkan lagi faktor-faktor penting lainnya
Seperti disebutkan sebelumnya, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan istri sebelum minta cerai. Mulai dari kondisi psikis anak, hingga faktor ekonomi keluarga. Pikirkan matang-matang soal faktor ini sebelum memutuskan, supaya tidak membuat keputusan yang keliru ya, Bunda.
Berikan waktu untuk berpikir bagi diri sendiri, jika perlu libatkan konselor pernikahan. Jangan terburu-buru membuat keputusan cerai, karena efeknya justru bisa sangat mengganggu di kemudian hari.
Seperti dikutip dari Your Tango, ada baiknya Bunda juga memberikan waktu bagi suami untuk memberi penjelasan. Terutama jika ia sudah mengetahui niat cerai yang terpikirkan oleh Bunda. Ini penting guna melihat apakah masih ada niat meneruskan pernikahan dari sisi suami.
Pertimbangkan baik-baik sebelum meminta cerai ya, Bunda!
Simak juga video hikmah perceraian di mata Kirana Larasati:
[Gambas:Video Haibunda]
Suara.com - Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tak jarang terjadi masalah, bahkan timbul peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tak jarang, orang yang mengalami KDRT memilih untuk mengajukan cerai terhadap pasangannya. Lantas bagaimana hukum Islam minta cerai karena KDRT?
KDRT merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum dalam Undang-Undang positif, hal ini diatur pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan hukuman pidana 5 tahun dan denda Rp15 juta.
Selama ini, KDRT identik dengan tindakan yang mengarah pada perbuatan kriminalis seperti pemukulan, penamparan, penganiayaan, intimidasi, dan hal yang melukai badan lainnya. Namun KDRT juga bisa bersifat spiritual emosional, dan perkara-perkara yang tidak kasat mata. Nah, di dalam Islam hukum mengenai KDRT juga telah dijelaskan oleh beberapa ulama.
Hukum Islam Minta Cerai Karena KDRT
Baca Juga: 10 Tanda Pelaku KDRT Tidak Akan Berubah, Seperti Armor Toreador Suami Cut Intan Nabila?
Salah satu hukum KDRT dalam Islam dijelaskan oleh Buya Yahya, dalam tayangan di kanal YouTube Al-Bahjah TV, yang diunggah pada tanggal 20 Desember 2020. Beliau menanggapi terkait hukum KDRT di dalam Islam.
Apabila benar seorang istri sudah mengabdi bahkan merajakan seorang suami, maka ia tidak termasuk istri yang durhaka. Sebaliknya, bila istri sudah bersikap demikian namun sang suami justru menyepelekan bahkan bersikap kasar hingga memukul, maka bisa dibilang ia termasuk suami yang durhaka.
Oleh sebab itu, istri yang dipukul boleh mengajukan cerai kepada suami. Jangankan dipukul berkali-kali, baru dipukul satu kali saja istri sudah diperkenankan untuk meminta cerai kepada suami. Karena sejatinya perempuan ada bukan untuk dipukuli.
Lebih lanjut, menurut Buya Yahya, meminta tolong kepada orang lain saat dizalimi itu bukan perbuatan yang salah. Selain itu, kita juga diperkenankan cerita kepada orang yang akan bisa menolong, asalkan seperlunya dan tidak menggunjing.
Akan tetapi, sebelum mengajukan gugatan cerai, Buya Yahya mengingatkan tentang bahaya perceraian. Salah satunya yaitu kemampuan hidup seorang perempuan setelah ia menyandang status janda. Sebab setelah cerai, seorang wanita tidak bisa menyalurkan kebutuhan batin seperti saat masih berumah tangga.
Baca Juga: Wajib Tahu Jenis-Jenis KDRT, Agar Tak Bernasib Seperti Cut Intan Nabila
Di sisi lain, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung KH Munawir menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya hukumnya adalah haram. Perilaku KDRT ini bisa menjadi dasar atau alasan seorang istri menggugat cerai suaminya. Bahkan pengadilan pun bisa menjatuhkan cerai tanpa ada gugatan dari sang istri.
Itu tadi penjelasan mengenai hukum Islam minta cerai karena KDRT. Akhir-akhir ini KDRT menjadi isu yang sering terjadi dan kebanyakan korbannya adalah wanita dan anak-anak. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari tindakan zalim ini.
Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari
BincangSyariah.Com – Kehidupan keluarga yang bahagia serta harmonis merupakan harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah menjalani kehidupan pernikahan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia.
Kebahagiaan pernikahan tersebut tidak akan terbangun kecuali hak dan kewajiban pasangan tersebut saling terpenuhi. Terkait dengan kewajiban suami terhadap istri misalnya, suami wajib menunaikan hak materi berupa mahar dan nafkah materi, maupun hak non-materi istri seperti memberikan nafkah batin serta berlaku adil terhadapnya. Ini seperti disebutkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (j. 9 h. 6832),
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.
“bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafaqoh dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak terpenuhi maka akan berakibat kepada keretakan rumah tangga itu sendiri, dan yang terburuk adalah mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi berakhir dengan perceraian.
Pada prinsipnya, agama tidak menghendaki (meski tidak melarang) terjadinya perceraian setelah terjadi sebuah pernikahan. Namun, jika ada sekian faktor – termasuk tidak mampu menafkahi – yang menunjukkan kalau perceraian bagi pasangan yang menjadi kehidupan rumah tangga adalah jalan terbaik, maka agama memiliki penjelasan tentang fikih perceraian tersebut. Perceraian dibagi menjadi dua yaitu: furqotu talaq (perceraian talaq), yaitu suami mentalak istri dan furqotu faskhin (cerai gugat), dimana istri menggugat cerai suami di hadapan pengadilan. Salah satu faktor yang dibenarkan agama untuk melakukan faskh adalah kondisi jatuh miskinnya seorang suami (mu’sir) dan ia tidak lagi mampu menafkahi istrinya. Ini seperti disebutkan dalam kitab I’anatu at-Thalibin ‘ala Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (j. 4 h. 98) dan Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb (j. 2 h. 147),
فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
“sebuah cabang pembahasan di dalam penjelasan faskh nikah: faskh disyariatkan guna mencegah doror (bahaya) seorang istri dan faskh boleh dilakukan bagi istri yang baligh, berakal terhadap suami yang melarat akibat tidak memiliki harta, atau pekerjaan yang layak serta halal yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi (pangan), yaitu setidaknya satu mud. Atau tidak memiliki harta yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi sandang-nya istri, seperti gamis, kerudung, atau jubah untuk musim dingin.” (I’anatu at-Ṭālibīn, j. 4 h. 98)
وَلَا ” فَسْخَ ” قَبْلَ ثُبُوتِ إعْسَارِهِ ” بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ ” عِنْدَ قَاضٍ ” فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ ” فَيُمْهِلُهُ ” وَلَوْ بِدُونِ طَلَبِهِ ” ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ” لِيَتَحَقَّقَ إعْسَارُهُ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ يُتَوَقَّعُ فِيهَا الْقُدْرَةُ بِقَرْضٍ أَوْ غَيْرِهِ.
“tidak ada (boleh) faskh sebelum penetapan melaratnya suami dengan pengakuan dari dirinya atau dengan adanya bukti di hadapan Qadhi’ (pengadilan). Maka harus dilaporkan kepada Qadhi terlebih dahulu. Kemudian Qadhi’ memberi tenggang waktu kepada suami selama tiga hari, sekalipun dengan tanpa permintaannya, agar nyata kemelaratan dari suami tersebut dan itu waktu yang sebentar yang mana kemampuan ditangguhkan dengan cara mencari pinjaman atau selainnya.” (Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb, j. 2 h. 147),
Dari dua penjelasan ulama diatas, menurut hemat penulis walaupun menggugat cerai seorang istri diperbolehkan kepada suami karena jatuh miskin, namun hal ini tidak melulu dipandang dengan akal yang pendek. Oleh karena itu syariat memberikan opsi tatkala suami dalam keadaan jatuh miskin, hendaknya istri bersabar (jika bisa), dan boleh bagi istri untuk kerja mencari nafkah keluarga tatkala suami sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Meskipun hal ini bukan menafikan bahwa istri boleh saja menggugat cerai suami ketika jatuh miskin.
Ramai kasus mengenai pasangan publik figur yang mengajukan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh. Selain yang bisa dibaca melalui media massa, kasus ini mungkin juga terjadi di sekitar Anda. Pengajuan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh adalah perkara yang cukup banyak diajukan. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini diterima secara sah di mata hukum? Anda bisa menemukan jawabannya dalam artikel berikut ini.
Aturan tentang Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
Kita mungkin sepakat bahwa harapan semua orang yang melakukan perkawinan adalah untuk mencapai tujuan sebagaimana yang disebutkan dalam UUP, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian, perceraian bukan menjadi suatu keinginan kedua belah pihak, baik laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri.
Pasal 38 UUP menyebutkan bahwa perkawinan dapat berakhir dikarenakan tiga hal, yaitu peristiwa kematian, adanya perceraian, dan putusan pengadilan.
Berakhirnya perkawinan akibat adanya perceraian hanya dapat dilakukan di persidangan, atas dasar keputusan dari Majelis Hakim dalam persidangan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) UUP.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa perceraian tidak dapat terjadi begitu saja. Baik suami ataupun istri yang mengajukan permohonan perceraian, perlu menyiapkan alasan-alasan yang nantinya akan dikemukakan di persidangan.